Posts

Showing posts from November, 2018

Suatu Patung Pieta tanpa Kristus

Image
Judul buku: Dr. Edith Stein, Sr. Teresa Benedikta dari Salib, Kurban untuk Bangsanya Penulis: Sr. M. Emerentia, OP Alih bahasa: Biara Karmel Lembang  Tahun terbit: 1998 Tebal: 50 hlm. 'Edith bangkit dan diantar ke pintu gerbang klausura. Para suster yang bercadar menyambutnya di sana sambil memegang lilin bernyala. Seorang suster memegang salib dan dengan kecupan di pintu gerbang kepada Dia yang tersalib, ilmuwan tersohor itu menolak semuanya yang bukan Yesus' (hlm. 28). Kutipan indah itu hanya sebagian kecil dari buku tentang riwayat Dr. Edith Stein, atau yang kemudian dikenal sebagai Sr. Teresa Benedikta dari Salib. Bahasa yang digunakan sederhana, indah, sehingga mudah dibaca. Pembaca diajak untuk mengenal Edith lebih mendalam, juga melalui penilaian orang-orang terdekatnya. Situasi mencekam terasa saat Edith bersama ribuan orang Yahudi lain berada di dalam kamp konsentrasi Nazi. Di tengah situasi yang sangat menekan, Edith menunjukkan keutamaan pribadinya. 'Sr, Benedikt...

Semua Tiada Berarti Lagi

Image
Aku gembira dikaruniai banyak bakat dan kesempatan untuk mengembangkannya. Sepanjang hidupku, banyak yang sudah kucoba lakukan & geluti. Hal-hal itu memberikan kegembiraan, kebanggaan, bahkan identitas.. bahwa aku adalah 'seseorang'.. bahwa aku punya sesuatu untuk dilakukan. Seiring berjalannya waktu, hal-hal itu menjadi tak berarti lagi. Bukan karena jenuh atau bosan, a tau tak lagi mampu memaknainya, namun karena ternyata hal-hal itu bukanlah yang terutama. Betapa gembira menyadari, bahwa bukan prestasi atau pencapaian yang penting, namun justru sebaliknya.. ketika dengan semua itu aku dapat mengatakan bahwa kesemuanya tidaklah berarti. Aku mengalami kebebasan, kekosongan yang penuh, kehampaan yang sarat sukacita. Aku memandang bunga rumput kecil di trotoar jalan, melihat betapa gembira ia menggoyangkan kelopaknya.

Benih Kecil di Tangan Allah

Image
Sekelompok suku terpencil di Papua Nugini menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk mencari makan. Bagaimana tidak, dengan pola hidup nomaden, mereka harus terus mencari bahan pangan yang bisa ditemukan. Butuh waktu tiga hari untuk mengolah sagu, dan makanan itupun habis kurang dari seminggu. Terpaksa, mereka kembali berpindah dan mencari sumber pangan lain. Berb eda halnya dengan suku Maya di Amerika Tengah. Lelah berpindah-pindah, mereka lantas memikirkan cara agar punya sumber daya pangan yang tetap. Mereka pun mulai bertani dan beternak. Masa hidup yang semula tersita untuk berpindah-pindah, kini tersisa banyak. Waktu itulah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan hidup: menulis, seni, dan sastra. Kebudayaan mereka pun berkembang. Dalam hidup rohani, barangkali tanpa disadari, kita pun kerap menghabiskan waktu untuk mencari dan berusaha menemukan Allah. Sebagian besar waktu habis untuk itu, namun pada akhirnya kita tetap merasa kekurangan dan selalu ingin mencari lagi. Butuh...

Google Earth dan Jiwa-jiwa yang Mengembara

Image
Satu aplikasi yang aku suka, terutama saat sakit atau istirahat, adalah Google Earth. Sambil tiduran, dengan HP di tangan, kita bisa menjelajahi bumi. Aku bisa melihat rumah orangtuaku di Malang, rumahku dulu di Surabaya yang tampaknya sekarang sudah dibongkar, bahkan aku berusaha menemukan danau di kaki gunung Semeru yang pernah kusinggahi. Tidak selalu berhasil menemukan yang kita cari, membuahkan kearifan bahwa perubahan telah dan pasti akan terjadi. Danau yang tak lagi sama, barangkali karena perubahan ekosistem. Rumah yang tak lagi ada, mungkin karena modernitas & kemajuan. Betapa senangnya menyusuri jejak-jejak kenangan, masa silam, yang mengantar kita ke masa kini maupun masa depan. Suatu hal yang pasti: kita terus berjalan. Aku jadi teringat St Teresia Lisieux, yang kendati hanya tinggal di biara dalam keadaan sakit, menjadi orang kudus pelindung misi. Google Earth hanya membantu kita menyusuri bumi.. namun jiwa-jiwa yang mengembara adalah teman peziarah dalam menyusuri k...