Jalan Ini Suci dan Baik, Tempuhlah Jalan Itu
Spiritualitas Rohani dalam Kehidupan Awam
Saya mengenal Karmelit Awam
sejak tahun 1997 melalui seorang aktivis paroki. Banyak cerita yang
dikisahkannya, lisan maupun melalui tulisan di majalah paroki. Bahkan lama
setelah itu, ketika sesekali membantu Karmelit Awam untuk menjadi panitia
seminar, saya belum tertarik menjadi seorang Karmelit Awam. Pemikiran saya
sangat sederhana: untuk apa mendalami spiritualitas rohani secara khusus? Awam
ya awam; spiritualitas rohani itu biarlah didalami atau dihidupi oleh rohaniwan
dan biarawan-biarawati.
Karena senang membaca, saya
membaca saja semua hal yang sekiranya dapat saya mengerti. Saya membaca tentang
spiritualitas Karmel, namun juga Fransiskan, Ignasian, bahkan tulisan saya
pernah dimuat di buku tentang spiritualitas Vincensian pada zaman
sekarang. Saya senang menjalin persahabatan dengan para rohaniwan dari berbagai
ordo, tarekat dan kongregasi, serta berbagi cerita kehidupan dengan mereka.
Karena suatu ketidaksengajaan,
saya dimasukkan ke grup WhatsApp (WA) Karmelit Awam Jakarta. Selama satu tahun,
saya ikut ber-chatting ria di grup
itu. Saya tak pernah menghadiri pertemuan Karmelit Awam, hanya dua kali datang saat
pengikraran kaul. Suatu ketika, karena ada informasi di grup, untuk pertama
kalinya saya hadir di pertemuan Karmelit Awam. Alasan awalnya sederhana, yakni
karena mau menyumbang nasi. Ternyata saya tak hanya membawakan nasi saja,
melainkan juga mengikuti ibadat sore dan pengajaran rohani dari Rm. Yohanes
Alexander Agung P. Tjahjono, O.Carm.
Pada pertemuan itulah,
diinformasikan bahwa minggu depannya ada penerimaan postulan. Minggu depan itu
pun saya datang, dan dikukuhkan menjadi postulan. Saya tidak punya persiapan apapun
selain pengakuan dosa yang rutin saya lakukan dengan Bapa Pembimbing Rohani
saya. Petang itu, yang saya rasakan hanyalah
kegembiraan semata, karena saya akan belajar mengenal Allah melalui
spiritualitas Karmel. Jika pada saat itu saya ditanya mengenai alasan menjadi
Karmelit Awam, saya tak dapat menjawabnya. Saya hanya merasa jalan ini baik
untuk ditempuh. Dengan demikian, saya pun mulai menjalani hari-hari dalam
terang spiritualitas Karmel, yakni menaruh perhatian bagi hidup doa,
persaudaraan dan kerasulan (yang secara khusus saya sebut sebagai pelayanan).
Doa adalah tentang Menjalin Relasi dengan Allah
Menjadi Karmelit Awam berarti
menyatukan diri dengan Ibadat Harian. Beberapa hari setelah menjadi postulan,
saya pun membeli buku Ibadat Harian di toko paroki. Untuk menggunakannya, saya
memakai panduan yang dicantumkan di buku renungan harian Ruah (terbitan
Karmelindo). Sdr. Sergius Sudi, seorang novis Karmelit Awam, memberikan buku
petunjuk nyanyian yang berjudul Madah Kehidupan.
Saya pernah 1-2 kali
memperhatikan umat melakukan Ibadat Harian sebelum misa di kapel. Waktu itu
saya sama sekali tidak tertarik. Ketika saya mulai melakukannya, kebanyakan
sendirian saja dan bukannya bersama umat, saya langsung menyukainya. Buku
Ibadat Harian bahkan saya bawa ke manapun saya pergi, dan ada di sisi saya saat
tidur malam.
Karena kesibukan harian, saya
hanya dapat melakukan ibadat pagi, siang, sore dan penutup. Dalam keheranan,
saya gembira menyadari betapa Ibadat Harian mengubah situasi batin saya. Betapa
tidak, mendaraskan Mazmur sebanyak sembilan perikop setiap hari (atau 3 perikop
setiap kali ibadat), ibarat menyetel dawai-dawai gitar agar suaranya kembali jernih
dan harmonis.
Mazmur adalah bacaan yang
lengkap; ada pujian kepada Allah, keluhan, kemarahan, harapan dan peneguhan di
dalamnya. Semua perasaan hati kita terwakili oleh ayat-ayat Mazmur itu. Saya
merasakan berapa eratnya relasi antara Pemazmur dengan Tuhannya. Belakangan,
dalam komunikasi dengan Bapa Pembimbing Rohani saya, beliau mengatakan bahwa
membaca Mazmur adalah latihan rohani yang baik. Beragam perasaan di Pemazmur
yang didaraskan dengan intonasi mendatar, melatih kita untuk menata suasana dan
gejolak batin kita sendiri.
Selain Mazmur, doa-doa di dalam
Ibadat Harian yang ditulis mengikuti kalender liturgi Gereja membuat saya
merasa menjadi satu kesatuan dalam gerak bersama Gereja universal, menziarahi
kehidupan yang penuh tantangan. Bukankah kita adalah Gereja yang berziarah? Dalam
hal ini, Ibadat Harian membantu saya untuk lebih jernih memandang peristiwa
hidup, sehingga hati saya pun tak lagi mudah digelisahkan oleh berbagai hal.
Bahkan, dengan membaca doa-doa di buku Ibadat Harian, saya jadi belajar untuk
berdoa dengan lebih baik. Doa pada akhirnya sungguh menjadi ekspresi kedekatan
kita dengan Allah.
Karena menjadi ekspresi
kedekatan kita dengan Allah, doa pun menjadi dasar dari semua hal lain. Sebelum
mendalami hidup doa, saya lebih banyak bersandar pada kemampuan berpikir,
menganalisis, serta berbagai keterampilan lain. Memang benar bahwa dalam banyak
hal, aneka kemampuan itu membantu saya menjalani hidup, namun berbeda halnya
ketika saya memulai semuanya dengan doa. Doa menjadi hal yang utama.
Selebihnya, apakah itu kemampuan atau karya, adalah buah-buah dari doa.
Persaudaraan adalah tentang Memberikan Ruang bagi Orang Lain untuk
Berkembang
Karmelit Awam adalah sebuah komunitas
persaudaraan. Kami menyebut satu sama lain sebagai saudara. Pada awalnya, saya
tidak mengerti bagaimana caranya orang-orang yang tidak bersaudara menganggap
diri mereka sebagai saudara. Pemahaman saya akhirnya timbul, ketika melihat
praksis hidup mereka.
Dalam komunitas, terbantu dengan
adanya grup WA sebagai sarana komunikasi sehari-hari, kami terbiasa saling
menyapa, menanyakan kabar, berdiskusi tentang suatu hal, bercanda, juga saling
menghibur dan mendoakan. Dalam komunitas tentu ada pribadi-pribadi yang
sesekali menjengkelkan, dan saya mengalami adanya penerimaan, pengampunan serta
rekonsiliasi jika sampai timbul ketegangan. Saya juga melihat adanya kemampuan
anggota komunitas untuk menahan diri, berpikir positif serta tetap gembira.
Saya belajar dari itu semua.
Saya juga belajar dari
keteladanan Rm. Paulus Kristianto P.S. O.Carm, Delegatus Komunitas Karmelit
Awam ‘Flos Carmeli’. Kendati beliau adalah seseorang yang punya prinsip dan
memiliki ketegasan untuk menjalankannya, Rm. Krist menampilkan diri sebagai
sosok yang sederhana, santai, ringan hati, senang bercanda, dan sangat
mementingkan kesatuan dengan orang lain. Bahkan dalam situasi yang membuat saya
berpikir Rm. Krist akan marah atau tidak berkenan, beliau tetap hadir dengan
gaya santainya yang khas.
Saya jadi teringat tulisan
spiritualis Jean Varnier dalam bukunya The
Broken Body. Vanier mengatakan bahwa komunitas bukanlah kumpulan
orang-orang kuat, melainkan kesatuan orang-orang yang mempunyai berbagai
kelemahan. Dengan begitu, semua anggota komunitas akan saling belajar untuk
mendukung dan menyempurnakan satu sama lain.
Satu hal lagi yang saya pelajari
tentang persaudaraan adalah tak perlunya kita menampakkan suatu kemampuan yang
menonjol. Kepandaian, pengetahuan yang luas, pribadi yang ramah, cara pikir
yang sistematis, teman-teman yang hebat, tak ada gunanya ditampakkan selama tak
membantu saudara lain untuk berkembang. Berbagai kemampuan itu hanyalah sarana,
bukan untuk dibanggakan melainkan justru digunakan untuk mengabdi hal yang
lebih penting, yakni kasih persaudaraan itu sendiri. Rasul Paulus menulis,
bahwa sekalipun ia mempunyai kemampuan untuk berbicara tentang Allah, bernubuat
bahkan mengorbankan diri bagi sesama, selama ia melakukan semuanya tanpa kasih,
kesemuanya itu akan sia-sia belaka (bdk. 1 Korintus 13:1-3).
Pelayanan adalah tentang Kehadiran Kita dalam Setiap Persoalan
Kemanusiaan
Satu pelayanan yang khas dari
Karmelit Awam adalah doa. Di depan dan samping gereja Maria Bunda Karmel,
diletakkan kotak berisi kertas-kertas permohonan doa. Umat dapat menuliskan
intensinya dan menyelipkan kertas itu ke dalam kotak terkunci. Ada anggota
komunitas yang akan menerima kertas-kertas itu dari koster, lantas
membagi-bagikannya kepada anggota lain untuk didoakan.
Saya juga mendapat bagian.
Pertama kali, ada kekhawatiran bahwa diri saya ini tidak layak untuk mendoakan
orang lain; apakah Tuhan akan mendengar? Apakah Tuhan akan mengabulkan? Akan
tetapi, setelah sesi konsultasi dengan Rm. Robertus Andy Priambada O.Carm, yang
menerangkan soal ‘layak dan tidak layak’, saya pun paham dan menjadi gembira untuk
mendoakan orang lain. Ada juga gurauan dari teman-teman, kata mereka, “Bukankah
doa orang berdosa justru didengar Tuhan?”
Saya pun belajar mendoakan
beragam intensi dalam ibadat harian. Tak hanya intensi dalam kertas yang
ditujukan kepada Karmelit Awam, namun juga instensi yang disampaikan ke saya
lewat SMS, BBM, atau WA. Saya bahkan memberanikan diri memasang status BB bahwa
saya menerima permohonan doa. Cukup banyak teman dan keluarga yang kemudian
menghubungi saya secara pribadi.
Melalui berbagai intensi doa
ini, saya jadi belajar untuk memahami gejolak kehidupan sesama saya. Banyak hal
yang belum pernah saya alami atau ketahui; menyadarkan saya tentang betapa
liatnya pergumulan manusia untuk menjadi seseorang yang beriman kepada Allah.
Sejumlah intensi membuat saya terpekur dalam keprihatinan mendalam tentang
penderitaan sesama saya.
Di sisi lain, saya belajar untuk
menjalin relasi dengan Allah secara lebih mendalam. Agak sulit bagi saya untuk
langsung memanjatkan permintaan, tanpa terlebih dulu berkomunikasi dengan Allah
tentang konteks peristiwa hidup yang dialami si pemohon doa. Misalnya, intensi
untuk kesembuhan dari sakit, saya awali dengan rasa syukur bahwa Allah-lah yang
menganugerahi kita kehidupan, yang menjaga, merawat, bahkan membela kehidupan
itu. Karena Allah adalah yang empunya kehidupan, kita memohon kepada-Nya rahmat
kesembuhan bagi saudara yang sakit. Dengan demikian, setiap peristiwa hidup
kita kembalikan kepada rencana dan penyelenggaraan-Nya yang indah.
Pelayanan doa, lambat laun membuat
saya paham tentang inti dari pelayanan itu sendiri. Apapun bentuknya, apakah
itu doa, aksi karitatif atau gerakan pemberdayaan, pelayanan adalah suatu wujud
kehadiran kita dalam pergulatan sesama. Tak hanya sesama manusia, bahkan juga
seluruh ciptaan. Kita membaca dalam Gaudium et Spes: kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang,
terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang
sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka (Artikel 1).
Kita sering mendengar orang
mempertentangkan antara doa, karya karitatif dan gerakan pemberdayaan masyarakat/gerakan
sosial. Doa dipandang bukanlah karya pelayanan yang konkret, karya karitatif
dianggap dapat memanjakan penerima dan menjadi komoditas bagi pemberi,
sedangkan gerakan pemberdayaan masyarakat/gerakan sosial seringkali hanya
didasari idealisme manusiawi tanpa menyadari aspek penebusan ilahi.
Mengapa dipertentangkan? Gereja
membutuhkan kesemuanya itu. Malahan kesemuanya dapat mengalami ancaman yang
sama untuk direduksi, diturunkan nilainya, bahkan disalahgunakan. Pada masa
mendatang, saya berharap agar spiritualitas Karmel melalui para Karmelit Awam
pun berbuah dalam bentuk aksi karitatif maupun gerakan pemberdayaan
masyarakat/gerakan sosial.
Berziarah dalam Spiritualitas Karmel
Saat ini, sebagai seorang
postulan Karmelit Awam, saya hanya merasakan kegembiraan karena boleh mendalami
spiritualitas Karmel. Tidak banyak yang dituntut dari seorang postulan,
sehingga ringan langkah saya untuk berproses setahap demi setahap. Sekarang ini
makin banyak buku dan website tentang
spiritualitas Karmel yang diterbitkan, sehingga mudah bagi saya untuk mendapat
akses ke berbagai informasi yang berguna bagi pengembangan diri saya.
Sampai saat ini pun saya belum
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam diri sendiri. Saya
belum dapat mengatakan arti penting spiritualitas rohani bagi seorang awam,
khususnya spiritualitas Karmel. Masih banyak yang perlu saya pelajari. Bukan
hanya informasi tetapi juga belajar dari pengalaman-pengalaman yang menjadikan
hidup sebagai suatu peziarahan panjang. Saya tidak tergesa-gesa untuk
mendapatkan itu semua. Pada titik hidup saat ini saja, saya sudah sangat
bersyukur boleh mengalami relasi yang menyenangkan dengan Allah, sesama dan
ciptaan lainnya.
Saya pun belum cukup memahami
Regula Karmel. Saya hanya tahu satu kalimat saja, yang bagi saya merupakan satu
kalimat yang indah: jalan ini suci dan
baik, tempuhlah jalan itu.
Ya, saya akan berjalan di jalan
itu. Saya tidak dapat mengatakan apakah saya sampai jalan itu karena telah
memperbandingkan banyak jalan, membuat suatu pilihan, ataukah justru belum
sepenuhnya memutuskan. Saya hanya merasa jalan ini baik untuk ditempuh.
Berbagai pertanyaan biarlah menjadi warna-warni sepanjang perjalanan, yang barangkali
hanya akan terjawab pada akhir peziarahan.
Semoga Tuhan memberkati dan Bunda Maria menyertai.*
Comments
Post a Comment