Jalan Ini Suci dan Baik, Tempuhlah Jalan Itu

Sebenarnya, Karmel bukanlah hal yang asing bagi saya. Saya lahir pada 1972 di Malang, sebagai umat Paroki Kayutangan, sebuah paroki Karmel. Orang tua saya mengenal cukup banyak rohaniwan dan biarawan-biarawati Karmel. Ketika pindah ke Jakarta, persisnya di Kebon Jeruk pada 1985, paroki kami Karmel juga, yakni Paroki Tomang – Gereja Maria Bunda Karmel. Jalan hidup membawa saya lebih mendalami spiritualitas Karmel pada 7 Agustus 2015, ketika saya menjadi postulan Karmelit Awam dan memperoleh Skapulir Kecil.

Spiritualitas Rohani dalam Kehidupan Awam
Saya mengenal Karmelit Awam sejak tahun 1997 melalui seorang aktivis paroki. Banyak cerita yang dikisahkannya, lisan maupun melalui tulisan di majalah paroki. Bahkan lama setelah itu, ketika sesekali membantu Karmelit Awam untuk menjadi panitia seminar, saya belum tertarik menjadi seorang Karmelit Awam. Pemikiran saya sangat sederhana: untuk apa mendalami spiritualitas rohani secara khusus? Awam ya awam; spiritualitas rohani itu biarlah didalami atau dihidupi oleh rohaniwan dan biarawan-biarawati.

Karena senang membaca, saya membaca saja semua hal yang sekiranya dapat saya mengerti. Saya membaca tentang spiritualitas Karmel, namun juga Fransiskan, Ignasian, bahkan tulisan saya pernah dimuat di buku tentang spiritualitas Vincensian pada zaman sekarang. Saya senang menjalin persahabatan dengan para rohaniwan dari berbagai ordo, tarekat dan kongregasi, serta berbagi cerita kehidupan dengan mereka.

Karena suatu ketidaksengajaan, saya dimasukkan ke grup WhatsApp (WA) Karmelit Awam Jakarta. Selama satu tahun, saya ikut ber-chatting ria di grup itu. Saya tak pernah menghadiri pertemuan Karmelit Awam, hanya dua kali datang saat pengikraran kaul. Suatu ketika, karena ada informasi di grup, untuk pertama kalinya saya hadir di pertemuan Karmelit Awam. Alasan awalnya sederhana, yakni karena mau menyumbang nasi. Ternyata saya tak hanya membawakan nasi saja, melainkan juga mengikuti ibadat sore dan pengajaran rohani dari Rm. Yohanes Alexander Agung P. Tjahjono, O.Carm.

Pada pertemuan itulah, diinformasikan bahwa minggu depannya ada penerimaan postulan. Minggu depan itu pun saya datang, dan dikukuhkan menjadi postulan. Saya tidak punya persiapan apapun selain pengakuan dosa yang rutin saya lakukan dengan Bapa Pembimbing Rohani saya. Petang itu, yang saya rasakan hanyalah kegembiraan semata, karena saya akan belajar mengenal Allah melalui spiritualitas Karmel. Jika pada saat itu saya ditanya mengenai alasan menjadi Karmelit Awam, saya tak dapat menjawabnya. Saya hanya merasa jalan ini baik untuk ditempuh. Dengan demikian, saya pun mulai menjalani hari-hari dalam terang spiritualitas Karmel, yakni menaruh perhatian bagi hidup doa, persaudaraan dan kerasulan (yang secara khusus saya sebut sebagai pelayanan).

Doa adalah tentang Menjalin Relasi dengan Allah
Menjadi Karmelit Awam berarti menyatukan diri dengan Ibadat Harian. Beberapa hari setelah menjadi postulan, saya pun membeli buku Ibadat Harian di toko paroki. Untuk menggunakannya, saya memakai panduan yang dicantumkan di buku renungan harian Ruah (terbitan Karmelindo). Sdr. Sergius Sudi, seorang novis Karmelit Awam, memberikan buku petunjuk nyanyian yang berjudul Madah Kehidupan.

Saya pernah 1-2 kali memperhatikan umat melakukan Ibadat Harian sebelum misa di kapel. Waktu itu saya sama sekali tidak tertarik. Ketika saya mulai melakukannya, kebanyakan sendirian saja dan bukannya bersama umat, saya langsung menyukainya. Buku Ibadat Harian bahkan saya bawa ke manapun saya pergi, dan ada di sisi saya saat tidur malam.

Karena kesibukan harian, saya hanya dapat melakukan ibadat pagi, siang, sore dan penutup. Dalam keheranan, saya gembira menyadari betapa Ibadat Harian mengubah situasi batin saya. Betapa tidak, mendaraskan Mazmur sebanyak sembilan perikop setiap hari (atau 3 perikop setiap kali ibadat), ibarat menyetel dawai-dawai gitar agar suaranya kembali jernih dan harmonis.

Mazmur adalah bacaan yang lengkap; ada pujian kepada Allah, keluhan, kemarahan, harapan dan peneguhan di dalamnya. Semua perasaan hati kita terwakili oleh ayat-ayat Mazmur itu. Saya merasakan berapa eratnya relasi antara Pemazmur dengan Tuhannya. Belakangan, dalam komunikasi dengan Bapa Pembimbing Rohani saya, beliau mengatakan bahwa membaca Mazmur adalah latihan rohani yang baik. Beragam perasaan di Pemazmur yang didaraskan dengan intonasi mendatar, melatih kita untuk menata suasana dan gejolak batin kita sendiri.

Selain Mazmur, doa-doa di dalam Ibadat Harian yang ditulis mengikuti kalender liturgi Gereja membuat saya merasa menjadi satu kesatuan dalam gerak bersama Gereja universal, menziarahi kehidupan yang penuh tantangan. Bukankah kita adalah Gereja yang berziarah? Dalam hal ini, Ibadat Harian membantu saya untuk lebih jernih memandang peristiwa hidup, sehingga hati saya pun tak lagi mudah digelisahkan oleh berbagai hal. Bahkan, dengan membaca doa-doa di buku Ibadat Harian, saya jadi belajar untuk berdoa dengan lebih baik. Doa pada akhirnya sungguh menjadi ekspresi kedekatan kita dengan Allah.

Karena menjadi ekspresi kedekatan kita dengan Allah, doa pun menjadi dasar dari semua hal lain. Sebelum mendalami hidup doa, saya lebih banyak bersandar pada kemampuan berpikir, menganalisis, serta berbagai keterampilan lain. Memang benar bahwa dalam banyak hal, aneka kemampuan itu membantu saya menjalani hidup, namun berbeda halnya ketika saya memulai semuanya dengan doa. Doa menjadi hal yang utama. Selebihnya, apakah itu kemampuan atau karya, adalah buah-buah dari doa.

Persaudaraan adalah tentang Memberikan Ruang bagi Orang Lain untuk Berkembang
Karmelit Awam adalah sebuah komunitas persaudaraan. Kami menyebut satu sama lain sebagai saudara. Pada awalnya, saya tidak mengerti bagaimana caranya orang-orang yang tidak bersaudara menganggap diri mereka sebagai saudara. Pemahaman saya akhirnya timbul, ketika melihat praksis hidup mereka.

Dalam komunitas, terbantu dengan adanya grup WA sebagai sarana komunikasi sehari-hari, kami terbiasa saling menyapa, menanyakan kabar, berdiskusi tentang suatu hal, bercanda, juga saling menghibur dan mendoakan. Dalam komunitas tentu ada pribadi-pribadi yang sesekali menjengkelkan, dan saya mengalami adanya penerimaan, pengampunan serta rekonsiliasi jika sampai timbul ketegangan. Saya juga melihat adanya kemampuan anggota komunitas untuk menahan diri, berpikir positif serta tetap gembira. Saya belajar dari itu semua.

Saya juga belajar dari keteladanan Rm. Paulus Kristianto P.S. O.Carm, Delegatus Komunitas Karmelit Awam ‘Flos Carmeli’. Kendati beliau adalah seseorang yang punya prinsip dan memiliki ketegasan untuk menjalankannya, Rm. Krist menampilkan diri sebagai sosok yang sederhana, santai, ringan hati, senang bercanda, dan sangat mementingkan kesatuan dengan orang lain. Bahkan dalam situasi yang membuat saya berpikir Rm. Krist akan marah atau tidak berkenan, beliau tetap hadir dengan gaya santainya yang khas.

Saya jadi teringat tulisan spiritualis Jean Varnier dalam bukunya The Broken Body. Vanier mengatakan bahwa komunitas bukanlah kumpulan orang-orang kuat, melainkan kesatuan orang-orang yang mempunyai berbagai kelemahan. Dengan begitu, semua anggota komunitas akan saling belajar untuk mendukung dan menyempurnakan satu sama lain.

Satu hal lagi yang saya pelajari tentang persaudaraan adalah tak perlunya kita menampakkan suatu kemampuan yang menonjol. Kepandaian, pengetahuan yang luas, pribadi yang ramah, cara pikir yang sistematis, teman-teman yang hebat, tak ada gunanya ditampakkan selama tak membantu saudara lain untuk berkembang. Berbagai kemampuan itu hanyalah sarana, bukan untuk dibanggakan melainkan justru digunakan untuk mengabdi hal yang lebih penting, yakni kasih persaudaraan itu sendiri. Rasul Paulus menulis, bahwa sekalipun ia mempunyai kemampuan untuk berbicara tentang Allah, bernubuat bahkan mengorbankan diri bagi sesama, selama ia melakukan semuanya tanpa kasih, kesemuanya itu akan sia-sia belaka (bdk. 1 Korintus 13:1-3).

Pelayanan adalah tentang Kehadiran Kita dalam Setiap Persoalan Kemanusiaan
Satu pelayanan yang khas dari Karmelit Awam adalah doa. Di depan dan samping gereja Maria Bunda Karmel, diletakkan kotak berisi kertas-kertas permohonan doa. Umat dapat menuliskan intensinya dan menyelipkan kertas itu ke dalam kotak terkunci. Ada anggota komunitas yang akan menerima kertas-kertas itu dari koster, lantas membagi-bagikannya kepada anggota lain untuk didoakan.

Saya juga mendapat bagian. Pertama kali, ada kekhawatiran bahwa diri saya ini tidak layak untuk mendoakan orang lain; apakah Tuhan akan mendengar? Apakah Tuhan akan mengabulkan? Akan tetapi, setelah sesi konsultasi dengan Rm. Robertus Andy Priambada O.Carm, yang menerangkan soal ‘layak dan tidak layak’, saya pun paham dan menjadi gembira untuk mendoakan orang lain. Ada juga gurauan dari teman-teman, kata mereka, “Bukankah doa orang berdosa justru didengar Tuhan?”

Saya pun belajar mendoakan beragam intensi dalam ibadat harian. Tak hanya intensi dalam kertas yang ditujukan kepada Karmelit Awam, namun juga instensi yang disampaikan ke saya lewat SMS, BBM, atau WA. Saya bahkan memberanikan diri memasang status BB bahwa saya menerima permohonan doa. Cukup banyak teman dan keluarga yang kemudian menghubungi saya secara pribadi.

Melalui berbagai intensi doa ini, saya jadi belajar untuk memahami gejolak kehidupan sesama saya. Banyak hal yang belum pernah saya alami atau ketahui; menyadarkan saya tentang betapa liatnya pergumulan manusia untuk menjadi seseorang yang beriman kepada Allah. Sejumlah intensi membuat saya terpekur dalam keprihatinan mendalam tentang penderitaan sesama saya.

Di sisi lain, saya belajar untuk menjalin relasi dengan Allah secara lebih mendalam. Agak sulit bagi saya untuk langsung memanjatkan permintaan, tanpa terlebih dulu berkomunikasi dengan Allah tentang konteks peristiwa hidup yang dialami si pemohon doa. Misalnya, intensi untuk kesembuhan dari sakit, saya awali dengan rasa syukur bahwa Allah-lah yang menganugerahi kita kehidupan, yang menjaga, merawat, bahkan membela kehidupan itu. Karena Allah adalah yang empunya kehidupan, kita memohon kepada-Nya rahmat kesembuhan bagi saudara yang sakit. Dengan demikian, setiap peristiwa hidup kita kembalikan kepada rencana dan penyelenggaraan-Nya yang indah.

Pelayanan doa, lambat laun membuat saya paham tentang inti dari pelayanan itu sendiri. Apapun bentuknya, apakah itu doa, aksi karitatif atau gerakan pemberdayaan, pelayanan adalah suatu wujud kehadiran kita dalam pergulatan sesama. Tak hanya sesama manusia, bahkan juga seluruh ciptaan. Kita membaca dalam Gaudium et Spes: kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka (Artikel 1).

Kita sering mendengar orang mempertentangkan antara doa, karya karitatif dan gerakan pemberdayaan masyarakat/gerakan sosial. Doa dipandang bukanlah karya pelayanan yang konkret, karya karitatif dianggap dapat memanjakan penerima dan menjadi komoditas bagi pemberi, sedangkan gerakan pemberdayaan masyarakat/gerakan sosial seringkali hanya didasari idealisme manusiawi tanpa menyadari aspek penebusan ilahi.

Mengapa dipertentangkan? Gereja membutuhkan kesemuanya itu. Malahan kesemuanya dapat mengalami ancaman yang sama untuk direduksi, diturunkan nilainya, bahkan disalahgunakan. Pada masa mendatang, saya berharap agar spiritualitas Karmel melalui para Karmelit Awam pun berbuah dalam bentuk aksi karitatif maupun gerakan pemberdayaan masyarakat/gerakan sosial.

Berziarah dalam Spiritualitas Karmel
Saat ini, sebagai seorang postulan Karmelit Awam, saya hanya merasakan kegembiraan karena boleh mendalami spiritualitas Karmel. Tidak banyak yang dituntut dari seorang postulan, sehingga ringan langkah saya untuk berproses setahap demi setahap. Sekarang ini makin banyak buku dan website tentang spiritualitas Karmel yang diterbitkan, sehingga mudah bagi saya untuk mendapat akses ke berbagai informasi yang berguna bagi pengembangan diri saya.

Sampai saat ini pun saya belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam diri sendiri. Saya belum dapat mengatakan arti penting spiritualitas rohani bagi seorang awam, khususnya spiritualitas Karmel. Masih banyak yang perlu saya pelajari. Bukan hanya informasi tetapi juga belajar dari pengalaman-pengalaman yang menjadikan hidup sebagai suatu peziarahan panjang. Saya tidak tergesa-gesa untuk mendapatkan itu semua. Pada titik hidup saat ini saja, saya sudah sangat bersyukur boleh mengalami relasi yang menyenangkan dengan Allah, sesama dan ciptaan lainnya.

Saya pun belum cukup memahami Regula Karmel. Saya hanya tahu satu kalimat saja, yang bagi saya merupakan satu kalimat yang indah: jalan ini suci dan baik, tempuhlah jalan itu.

Ya, saya akan berjalan di jalan itu. Saya tidak dapat mengatakan apakah saya sampai jalan itu karena telah memperbandingkan banyak jalan, membuat suatu pilihan, ataukah justru belum sepenuhnya memutuskan. Saya hanya merasa jalan ini baik untuk ditempuh. Berbagai pertanyaan biarlah menjadi warna-warni sepanjang perjalanan, yang barangkali hanya akan terjawab pada akhir peziarahan.

Semoga Tuhan memberkati dan Bunda Maria menyertai.* 

Comments

Popular posts from this blog

Karisma Karmel

Suatu Patung Pieta tanpa Kristus